BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang Masalah

Sejak awal 1990-an telah berkembang berbagai wacana diantara pemerhati pemerintahan tentang desentralisasi pemerintah di Indonesia. Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Keuangan Daerah yang selanjutnya diubah oleh Undang-undang nomor 32 dan 33 tahun 2004, telah mengantarkan Indonesia memasuki proses pemerintahan desentralisasi setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah rezim orde baru yang serba sentralistis. Implementasi kedua undang-undang tersebut menjadi momentum perpindahan pengawasan, sumber daya fiskal, otonomi politik dan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selama rentang perpindahan yang lebih dari satu dasawarsa tersebut, berbagai pengalaman lokal yang heterogen telah muncul ke permukaan, seiring longgarnya pengawasan pusat atas daerah dan meningkatnya wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik.

Dengan demikian Makalah ini kami buat, dan akan dibahas secara lebih mendetail mengenai Desentralisasi yang berada di Indonesia.

 

 

 

 

 

  1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengertian Desentralisasi?
  2. Bagaimana konsep dan teori Desentralisasi?
  3. Bagaimana Sejarah Desentralisasi Indonesia?
  4. Bagaimana Dimensi dan derajat Desentralisasi?
  5. Apa hukum Desentralisasi yang pernah berlaku di Indonesia?
  6. Bagaimana implementasi Desentrallisasi di Indonesia?
  7. Bagaimana dampak positif dan negatif Desentralisasi Indonesia?
  8. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:

  1. Mengetahui pengertian Desentralisasi.
  2. Mengetahui konsep dan teori Desentralisasi.
  3. Mengetahui Sejarah Desentralisasi Indonesia.
  4. Mengetahui Dimensi dan derajat Desentralisasi.
  5. Mengetahui hukum Desentralisasi yang pernah berlaku di Indonesia.
  6. Mengetahui implementasi Desentrallisasi di Indonesia.
  7. Mengetahui dampak positif dan negatif Desentralisasi Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Istilah dan Pengertian Desentralisasi

Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang berarti penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia . Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

Menurut para Ahli

  1. Rondinelli dan Cheema (1983) mendefinisikan otonomi daerah sebagai berikut: Decentralization is the transfer of planning, decisionmaking,or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal (italics in original) organization, local government or non-governmental organization.
  2. Dennis Rondinelli

Otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenangdan kekuasaan : perencanaan, pengambilan keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (organisasi-organisasi pelaksana daerah, unit-unit pelaksana daerah) kepada organisasi semi-otonom dan semi otonom (parastatal ) atau kepada organisasi non-pemerintah.

  1. Menurut World Bank

Desentralisasi atau Otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pemerintah yang menjadi bawahannya atau yang bersifat semi independen dan atau kepada sektor swasta

  1. Menurut M.Mas’ud Said

Dalam konteks Indonesia, otonomi daerah adalah proses pelimpahan, wewenang dan kekuasaan dari pemerintah pusat di Jakarta kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota (dalam koridor UU 32/2004 dan UU 33/2004, UU No. 18/2001 untuk DI Aceh, UU No. 21/2001, untuk Papua)

Sehingga Desentralisasi adalah azas penyelenggaraan pemerintah yang dipertentangan dengan sentralisasi. Desentralisai menghasilkan pemerintahan lokal (local government), sebagai disana terjadi superior government assingns responsibility, authority, or function to lower government unit.that is assumed to have some degree of authority. Adanya pembagian kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintah yang lebih rendah (pemerintah lokal), merupakan perbedaan terpenting antara konsep desentralisasi dengan sentralisasi.

Menurut para pakar politik sependapat bahwa dianutnya Desentralisasi adalah agar kebijakan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah serta masyarakat setempat.

Selanjutnya mengutip pendapat Riggs (dalam Sarunjang 2000:47) menyatakan bahwa desentralisasi mempunyai dua makna:

  1. Pelimpahan wewenang (delegation) yang mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada ditangan pusat. 
  2. Pengalihan kekuasaan (devolution) yakni seluruh tanggung jawab untuk kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang.

Tujuan dari desentralisasi adalah

  • Mencegah pemusatan keuangan

                                                                                              

  • Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
  • Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.

Sedangkan tujuan desentralisasi menurut smith(1985) membedakan secara umum 2 tujuan utama desentralisasi yaitu “political and economic goals”lalu smith mencoba mengupas secara tujuan dari desentralisasi secara lebih rinci membedakan tujuan desentralisasi bila dilihat dari sudut pandang kepentingan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Untuk kepentingan pemerintah pusat smith menegaskan sedikitnya ada 3 tujuan desentralisai yaitu:

(political education,training in political leadership,and for political stability)

Untuk kepentingan pemerintah daerah menurut smith ada 3 tujuan desentralisasi yaitu :

  1. political equality
  2. local accountability,and
  3. local responsiveness

Empat bentuk desentralisasi, yaitu:

• Dekonsentrasi wewenang administratif

Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.

• Delegasi kepada penguasa otoritas

Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewewenangan manajerial untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu organisasi yang secara langsung berada di bawah pengawasan pusat.

• Devolusi kepada pemerintah daerah

Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.

• Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta

Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada organisasi swasta.

  1. KONSEP DAN TEORI DESENTRALISASI

Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraanpemerintahan.Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth)yang akan dicapai melalui desentralisasi.

Dalam konteks Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Amanat dan Konsensus Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai pasang naik dan pasang surut tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi tersebut. Bahkan Sampai saat ini, kita telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU 1 tahun 1945, UU 22 tahun 1948, UU 1 tahun 1957, UU 18 tahun 1965, UU 5 tahun 1974, UU 22 tahun 1999 dan terakhir UU 32 tahun 2004. Melalui berbagai UU tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami berbagai pertumbuhan dan juga permasalahan.                                                        Dalam bagian ini akan disajikan konsepsi pemerintahan daerah dan berbagai azas penyelenggaraannya. Disamping itu juga akan dibahas tujuan-tujuan desentralisasi dan secara khusus tujuan desentralisasi dalam peningkatan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih khusus bagian ini juga akan menjelaskan: Perbedaan negara kesatuan dan negara federal, konsep sentralisasi, konsep desentralisasi, konsep dekonsentrasi, tujuan-tujuan desentralisasi, kaitan antara desentralisasi dengan pelayanan publik, serta kaitan antara desentralisasi dengan Kesejahteraan Masyarakat.

Konsep desentralisasi menurut Webster (dalam Prakoso, 1984:77) memberikan rumusan desentralisasi sebagai berikut: To decentralize means to devide and distrubute, as governmental administration, to withdraw from the center or concentration. (Desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi)      
 
Kemudian pendapat lainnya Fortmann (dalam Bryant 1989:215) menekankan bahwa : Desentralisasi juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal. Kekuasaan dan pengaruh cenderung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuannya untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Jika pemerintah lokal semata-mata ditugaskan untuk mengikuti kebijakan nasional, para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil saja didalamnya.

  1. SEJARAH DESENTRALISASI DI INDONESIA

Era Kemerdekaan

Di era kemerdekaan, Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama) beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi. UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, Pasal 18 yang bertajuk Pemerintahan Daerah itu selengkapnya berbunyi :

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa”.

Ketua PPKI Ir. Soekarno dalam pengantarnya berkenaan dengan pasal pemerintahan daerah itu, berkata : ‘Tentang Pemerintah Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi: ”Pemerintah Daerah disusun dalam Undang-Undang“.

Hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintah Daerah. Artinya, Pemerintah Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Daerah. Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-Kooti, Sultanat-Sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah “Zelfbesturende landschappen”, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige Gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli itu dihormati”.

Di kala itu, yang disahkan PPKI adalah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (37 pasal), Aturan Peralihan (4 pasal), dan Aturan Tambahan (2 butir angka), dan belum ada Penjelasan. Penjelasan, yang kelak dikenal dengan penamaan Penjelasan UUD 1945, baru dimunculkan kurang lebih enam bulan kemudian, dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946, disertai pengantar redaksi, sebagai berikut: “Oentoek memberikan kesempatan lebih loeas lagi kepada oemoem mengenai isi Oendang-Oendang Dasar Pemerintah jang semoelanya, di bawah ini kita sadjikan pendjelasan selengkapnja”.

Penjelasan tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai bagian naskah otentik konstitusi, apalagi penjelasan itu tidak dibuat serta tidak disahkan oleh PPKI. Pemuatan Penjelasan UUD 1945 pada halaman 51 sampai dengan 56 Berita Repoeblik Indonesia terpisah dari pemuatan UUD 1945 (halaman 45 sampai dengan 48), diantarai dengan pemuatan nama-nama daerah (provinsi) dalam lingkungan republik serta Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia, bertanggal 1 November 1945, yang ditandatangani Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta. Menelaah rumusan bagian ‘Oemoem’ dari Penjelasan UUD 1945 serta Penjelasan tafsir setiap pasal UUD dapat disimpulkan bahwasanya naskah Penjelasan UUD 1945 hampir seluruhnya disusun oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, Menteri Kehakiman di awal Pemerintahan RI.

Pada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah, dikemukakan:

a. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

b. Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Peraturan perundangan yang pertama tentang otonomi daerah adalah UU No. 1 tahun 1945. Peraturan ini membagi daerah dalam tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota berotonomi. Wilayah Negara dibagi dalam delapan provinsi yang diarahkan berbentuk daerah administratif tanpa memiliki otonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya provinsi Sumatera, provinsi berubah menjadi daerah otonom, kemudian dibentuk daerah perwakilan Sumatera atas dasar ketetapan Gubernur Sumater Nomor 102 tanggal 17 Mei 1945, serta dikukuhkan dengan peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1947.

Tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 tanggal 10 Juli 1948 yang menganut otonomi material, yaitu pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada daerah. Unsur yang paling menonjol adalah sebutan Provinsi bagi Dati I, Kabupaten dan Kota Besar bagi Dati II, Desa (Kota Kecil, Negeri, Marga dan sebagainya) bagi Dati III.

Sempat terjadi perubahan konstitusi yaitu lahirnya UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 yang juga masih mengakomodir pemerintahan daerah.

Kemudian di tahun 1957, lahirlah UU No.1 tahun 1957 yang menganut sistem otonomi riil, yaitu urusan rumah tangga secara luas diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat hanya mempunyai wewenang sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang. Dalam hal ini juga dikenal tiga tingkatan daerah yaitu, Dati I, II, dan III.

Penetapan Presiden No. 6/1959 jo Penetapan Presiden No. 5/1960 yang hampir sama dengan UU No. 1 Tahun 1957, yaitu pemerintah di bagi ke dalam tiga tingkatan, namun perbedaannya Kepala Daerah Tingkat I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD tingkat I ataupun DPRD tingkat II.

Lahir kemudian UU No. 18 Tahun 1965 yang membagii wilayah RI ke dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri melalui sistem otonomi riil dan seluas-luasnya. Tingkatan daerah tetap ada tiga, yaitu Dati I (Provinsi), Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dan Dati III (Kecamatan/Kotapraja).

Era Orde Lama

Di era orde lama, pemerintah dengan demokrasi liberalnya dan awal demokrasi terpimpin di dekade 1950an terjadi beberapa pemberontakan daerah yang signifikan, antara lain di Sumatra Barat, Sulawesi Selatan yang terkenal dengan PRRI-Permesta, dan Gerakan Aceh Merdeka. Selain itu masih terdapat beberapa pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat yang bermaksud mendirikan negara Islam, dan di Kalimantan Barat di awal 1960an yang terkait dengan etnis Cina. Gerakan-gerakan ini sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.

Untuk itu, dapat disimpulkan penyebab munculnya pergolakan-pergolakan ini antara lain :

Pertama, pemberontakan daerah di luar Jawa dilatar belakangi oleh ketimpangan struktur ekonomi yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa yang sangat padat penduduknya berperan menjadi ‘net-importer’, sementara luar Jawa menjadi andalan untuk kepentingan ekspor. Ketidakadilan struktur ekonomi yang lebih menguntungkan Jawa ini masih diperparah oleh kondisi politik yang membatasi harapan masyarakat luar Jawa untuk terlibat dalam proses politik nasional. Partai-partai besar yang berpengaruh secara nasional pada Pemilu 1955 lebih banyak berbasis di Jawa, seperti PNI, NU, dan PKI. Sementara aspirasi luar Jawa hanya diwakili oleh satu partai Masyumi.

Kedua, pemberontakan daerah Orde Lama tersebut didorong oleh kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang sentralistis yang tidak memberikan ruang yang memadai terhadap otonomi daerah. Para politisi daerah di awal kemerdekaan yakin bahwa otonomi daerah merupakan syarat minimal yang memungkinkan daerah untuk menjaga kepentingannya. Namun, pemerintahan yang berjalan sampai menjelang 1957 cenderung bersifat sentralistis. Pembentukan Republik Indonesia Serikat di akhir 1940an dengan cepat dikembalikan lagi ke bentuk negara kesatuan. Para birokrat dan profesional cenderung untuk menghalangi proses desentralisasi. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang tinggi di kalangan politisi daerah. Upaya pemerintah pusat mengembangkan otonomi melalui UU No. 1/1957 dinilai sudah terlambat karena kekecewaan daerah telah demikian memuncak.

Ketiga, peluang pemberontakan daerah di era Orde Lama diperluas oleh pengorganisasian militer yang berkoisidensi dengan pengorganisasian sipil dan bahkan sekaligus menjadi satu kesatuan dengan polarisasi kultural. Kepemimpinan militer di daerah mempunyai wilayah yang koinsiden dengan kepemimpinan sipil sehingga di antara keduanya mudah untuk menyatu dengan nama daerah. Kemudian, profesionalisasi dan rasionalisasi organisasi militer yang dilakukan oleh militer pusat telah merugikan para militer daerah yang berpendidikan formal rendah. Oleh karena itu, penjelasan ini mengajukan argumen bahwa pemberontakan daerah lebih didorong oleh konflik internal militer yang kemudian menyatu dengan kepemimpinan sipil dan solidaritas kultural.

Oleh karena itu sangat mudah dipahami mengapa hubungan pusat-daerah merupakan satu permasalahan pelik politik yang menyita banyak energi.

Era Orde Baru 1966 1998

Permasalahan pemerintahan di era Orde Lama, kurang mampu diredam Orde Baru. Orde Baru hanya menyelesaikan permasalahan terkait pengorganisasian militer, namun pada saat yang sama justru semakin memperparah dua permasalahan terpenting yaitu mengembangkan sistem pemerintahan dan keuangan daerah yang semakin tersentralisir, dan semakin memperlebar dikotomi struktur ekonomi yang fundamental antara Jawa dan Luar Jawa.

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas sistem politik lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya sentralisasi kelembagaan kelompok kepentingan dan kemudian menjadi salah satu mesin politik untuk membangun dukungan masyarakat (walaupun mungkin semu) kepada pemerintah melalui organisasi payung yang dinamakan Golongan Karya (King 1982, Reeve 1990).

Dengan kata lain, dalam era Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi (state formation) secara luar biasa yang berusaha menisbikan eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat. Hal ini menjadi semakin efektif melalui keterlibatan militer dalam day-to-day politics yang secara intens menumbuhkan suasana ketakutan (baik represi ideologis maupun fisik) di kalangan komunitas politik yang berusaha menolak dominasi pusat. Administrasi negara juga terlalu banyak merambah di dalam kehidupan privat, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Surat Kelakuan Baik, Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain yang menciptakan ketergantungan individu kepada negara (Antlov 1994).

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional, pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebenan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal utama. Pertama, pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional (yang bisa jadi hanya Lembaga Kepresidenan, dan bahkan hanya Suharto saja) yang menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Kedua, pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.

Karena supra-struktur dan infra-struktur politik lokal telah mengalami negaraisasi secara substansial, maka praktis tidak ada resistensi politik daerah yang memadai terhadap sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi yang terpusat ini. Dengan kata lain, secara ringkas bisa dikatakan bahwa berbagai sosok bias pusat dalam distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini adalah produk dari sebuah rejim politik otoritarian yang membangun legitimasi politiknya melalui sentralisasi serta monopoli sumber daya politik dan ekonomi secara nasional.

Namun, cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden Habibie.

Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa ketaatan komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. Tatkala krisis ekonomi melanda Indonesia, tatkala reformasi politik digulirkan masyarakat, dan tatkala pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi sorotan dunia, maka tatkala itulah proses pembusukan politik (bukan pembangunan politik) Orde Baru mulai terangkat ke permukaan.

Akhirnya, desentralisasi atau otonomi daerah pada masa Orde Baru bukannya tak ada sama sekali. Undang-undang No 5 tahun1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah telah mengatur bagaimana pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.

Namun, sebagaimana terwujud dalam praktiknya, UU tersebut tampaknya lebih disusun dalam kerangka sentralisasi ketimbang merupakan sebuah landasan bagi terlaksananya desentralisasi. Salah satu penjelasan UU tersebut juga secara tegas mengatakan otonomi daerah pada hakekatnya lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan

Era Reformasi

Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.

Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.

Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.

Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.

UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.

Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.

Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.

Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.

Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Dalam pemahaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.

Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.

Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.

Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.

Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.

Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.

Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.

UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.

Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.

  1. Dimensi dan derajat desentralisasi

Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alderfer (1964:176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama dalam bentuk deconcentration yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki baik itu terpisah maupun tergabung dengan perintah mengenai yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal desentralisasi, dimana unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menkalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri.

Selain itu, desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda menurut Conyers (1983:102) yang mendasarkan pada berbagai literatur bahasa Inggris yakni Devolution dan Deconcentration. Devolution menunjuk pada kewenangan politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal. Deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat.

Bagaimana Conyers membagi jenis desentralisasi ini dan untuk menentukan suatu negara berdasar pada jenis yang mana tampaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan aktifitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, jenis kewenangan atau kekuasaan yang ditransfer pada setiap aktifitas fungsional, tingkatan atau area kewenangan yang ditransfer, kewenangan atas individu, organisasi atau badan yang ditransfer pada setiap tingkatan, dan kewenangan ditransfer dengan cara legal ataukan administratif.

Tampaknya apa yang dimaksud decentralization menurut Aldefer menyerupai dengan apa yang disebut sebagai devolution menurut Conyers. Sementara istilah deconcentration yang mereka berdua pergunakan juga menunjuk pada kondisi yang sama. Pada sisi lain, Campo dan Sundaram membedakan antara dimensi desentralisasi dan derajat desentralisasi. Dimensi desentralisasi mencakup geografi, fungsional, politik/adminitration serta fiskal. Sedangkan derajatnya, desentralisasi mencakup dekonsentrasi delegasi dan devolusi.

Selanjutnya Rondinelli dan kawan-kawan mengungkapkan jenis desentralisasi secara lebih luas yakni mencakup deconsentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggungjawab administrasi kepada tingakatan yang lebih rendah dalam kementrian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat), devolution (pembentukan dan penguasaan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktifitas yang secara substansional berada diluar kontrol pemerintahan pusat), dan privatization ( memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah).

Rondinelli, McCullough, & Johnson (1989) sendiri bahkan mengungkapkan bahwa bentuk desentralisasi ada lima macam yakni

  1. Privatization
  2. Deregulation of private service provision
  3. Devolution to local goverment
  4. Delegation to public enterprtses or publicy regulated private enterprises
  5. Deconcentration of central goverment bureaucracy.

 

Dalam perkembangan sejarah pemerintahan daerah Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Indoensia modern telah dikenal pula beberapa jenis desentralisasi dalam arti luas. Selain desentralisasi dalam arti sempit (devolution, political decentralization) dan dekonsentrasi yang telah banyak di bahas, dikenal pual jenis Mede Bewind dan vrij bestuur (Sinjal, 2001). Mede bewind biasanya diartikan sebagai tugas pembantuan yang berarti hal menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu. Rohdewohld mengungkapkan makna yang hampir sama tentang mode bewind namun dengan bahasa yang berbeda sebagai fungsi tertentu yang berada dibawah yurisdiksi pemerintah pusat yang dijalankan oleh unit administrasi pemerintah daerah otonom atas perintah pemerintah pusat.

Bukan suatu hal yang mudah memang untuk menetukan apakah suatu negara lebih desentralisasi dibandingkan dengan negara lainnya karena memang ada tiga persoalan teoritis seperti diungkap James Fesler (1965) sebagaimana dikutip Smith (1985: 84), dalam menentukan derajat desentralisasi. Persoalan tersebut adalah

  1. Persoalan bahasa ketika istilah sentralisasi dan dsentralisai telah mendiktonoi pikiran kita
  2. Persoalan pengukuran kelemahan indeks desentralisasi
  3. Persoalan membedakan desentralisasi antar wilayah dari suatu negara.

Tetapi dampaknya derajat desentralisasi tetap dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu meskipun masih mengandung perdebatan. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menyusun derajat desentralisasi dikemukakan oleh Khairul Muluk (2009, 24-25) dengan mengemukakan pertama, derajat desentralisasi dapat dilihat dari fungsi atau urusan yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Semakin banyak fungsi yang didesentralisasikan maka semakin tinggi pula derajat desentralisasinya. kedua, jenis pendelegasian fungsi yakni open-end arrangement dan ultra-vires doctrine. Jika suatu pemerintah daerah memiliki fungsi atau tipe pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya lebih besar. Ketiga, adalah jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol represif derajat desentralisasinya lebih besar ketimbang kontrol yang bersifat preventif.

Faktor keempat adalah berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya desentralisasi pengambilan keputusan baik tentang penerimaan maupun pengeluaran pemerintah daerah. Kelima adalah tentang metode pembentukan pemerintah daerah. Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif ketimbang pendelegasian dari eksekutif. Keenam adalah derajat ketergantungan finansial pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, semakin besar presentasi bantuan pemerintah pusat dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD) maka semakin besar ketergantungan daerah tersebut secara finansial terhadap pusat. Ini berarti bahwa derajat desentralisasinya lebih rendah. Ketujuh adalah besarnya wilayah pemerintahan daerah. Ada anggapan bahwa semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat desentralisasinya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominasi pusat dan daerah. Namun demikian, hubungan antara besaran wilayah dengan kontrol yang masih terbuka untuk diperdebatkan.

Faktor kedelapan, adalah politik partai. Jika perpolitikan di tingkat lokal masih didominasi organisasi politik tingkat nasional maka derajat desentralisasinya dianggap rendah jika dibandingkan dengan perpolitikan tingkat lokal lebih di dominasi oleh organisasi politik lokal dan lebih mandiri dari organisasi politik nasional. Sedangkan faktor lainnya adalah struktur dari sistem pemerintahan desentralistik. Sistem pemerintahan yang sederhana dianggap memiliki derajat desentralisasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lebih kompleks.

Aspek lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan derajat desentralisasi adalah menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu. Ada tiga tingkatan desentralisasi jika kita berbicara tentang kekuasaan. Pertama pada tingkat wilayah (desentralisasi negara kesatuan) atau negara bagian (desentralisasi negara federal) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih. Kedua pada tingkatan distrik atau yang setara dengan jumlah penduduk 50.000 – 200.000, ketiga pada tingkatan desa atau masyarakat. Disinilah hakekat desentralisasi itu sebenarnya, karena pada tingkatan inilah masyarakat bersentuhan langsung dengan para pemimpin yang akan memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka.

Kebijakan desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai UU No. 22 tahun 1999 tidak lagi menggunakan istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah kini bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagian diatas dan kabupaten/kota yang setara dengan tingkatan kedua dalam pembagian diatas. Selain itu UU No. 22 tahun 1999 juga mengatur tentang distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara denga tingkatan ketiga dalam pembagian diatas. Tetapi dalam pelaksanaannya dintribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten atau kota. Hal yang sama juga masih diberlakukan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999.

 

  1. Hukum Desentralisasi yang pernah berlaku di Indonesia

Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktekan. Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan.

Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbangan-pertimbangan yang diajukan para pendiri Republik bahwa mereka sepakat melaksanakan kebijakan desentralisasi. Dari mulai Indonesia merdeka hingga kini, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Sejalan dengan itu, maka secara filosofis, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai landasan utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.

B.      Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.

Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,  tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat  Pemerintah Pusat.

C.      Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.

1.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utama; Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.

2.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walau demikian, terdapat klausul dalam Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang memungkinkan Pemerintah untuk mengangkat orang-orang pilihan Pemerintah Pusat, yang umumnya diambil dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut Pemerintah sering menempatkan calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.

3.      Undang-undang Nomor 1 tahun 1957

UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.

4.      Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.

5.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah Pusat. Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots.

6.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah.

7.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa  sentralistik menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan,  antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.

8.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD 1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini  merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang -undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah  beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti dari penyelenggaraan otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.  Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal

Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah. Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya,  terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan), Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau semuanya diserahkan kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

  1. Implementasi desentralisasi di indonesia

Demi pelaksanaan demokrasi, sudah saatnya digunakan sistem otonomi yang seluas-luasnya dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Dalam hal ini ada beberapa macam kekuasaan yang strategis yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Menurut teori residu hanya ada lima kekuasaan yang sebaiknya di urus oleh pemerintah pusat, yakni 1) bidang pertahanan dan keamanan, 2) bidang moneter, 3) bidang luar negeri, 4)bidang agama, 4) bidang peradilan. Kekuasaan lainnya merupakan kekuasaan yang diurus oleh Pemerintah Daerah.

  • Aspek politik

Dari sudut politik, desentralisasi ini dimaksudkan untuk mendemokrasikan Pemerintah Daerah. Masyarakat daerah harus dapat dengan leluasa memilih kepada pemerintahannya sendiri, serta menyusun dan membuat peraturan sendiri. Dengan perkataan lain ,apapun yang terjadi di daerah adalah from the people, by the people, and for the people. Intervensi pusat terhadap daerah harus dikurangi dan dibatasi, sehingga kemandirian daerah benar-benar dapat terwujud.

Dalam bidang politik, ekonomi seluas-luasnya harus ditandai dengan semakin besarnya wewenang dan kemandirian DPRD. DPRD harus berwenang dan secara mandiri memilih calon Kepala Daerahnya dan kemudian diresmikan pengangkatannya oleh Pemerintah Pusat.

DPRD juga harus berwenang meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah yang tidak memenuhi harapan rakyat. Terkait dalam hal ini, maka sangat relevan pencabutan Dwifungsi ABRI, terutama pengangkatan Anggota ABRI dalam lembaga legislative dan eksekutif seperti Gubernur dan Bupati/Walikota.

 

  • Aspek Teknis

Dari sudut teknis, pelaksanaan ini ditujukan untuk memperoleh efisiensi dan efektifitas yang maksimal dalam penyelenggaraan Pemda. Hal ini meliputi urusan rumah tangga mana yang paling cocok dan paling tepat dikerjakan oleh Daerah, bidang pekerjaan apa yang sebaiknya tetap dilakukan oleh lembaga pemerintah pusat dan bekerja sama yang bagaimana yang busa dilakukan oleh beberapa Daerah agar memperoleh hasil yang sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain aspek teknis ini bersifat kasualistis, tergantung kepada situasi dan kondisi masing-masing daerah.

 

  • Aspek Ekonomis

Dalam bidang ekonomi, Otonomi Daerah yang seluas-luasnya harus ditujukan kepada perubahan pengaturan hubungan antara Pusat dengan Daerah. UU tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang harus dapat menjamin agar daerah memperoleh bagian yang lebih proporsional sehingga dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pengaturan tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Perusahaan Daerah juga harus ditinjau kembali, dengan demikian daerah dapat mengembangkan kreasinya dalam mencari berbagai pendapatan daerah yang potensial. Sumber-sumber pajak daerah yang tradisional yang sudah dihapuskan.

 

Dalam ketatanegaraan di Indonesia, pada waktu menggunakan sistem pemerintahan parlementer, dipergunakan asas otonomi yang seluas-luasnya, sehingga aspek demokrasi atau politik ini tampak menonjol. Hal ini diwujudkan dengan besarnya kekuasaan DPRD. Wewenang DPRD tidak terbatas pada pemilihan calon Kepala Daerah dan mengusulkan kepada pusat untuk menghentikannya. Meskipun demikian asas desentralisasi itu kurang memperhatikan aspek teknis, sehingga kemampuan Daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat kurang dapat terlaksana. Sebaliknya pada masa Orde Baru aspek teknis diutamakan akan tetapi aspek politiknya diabaikan, dan DPRD hampir sama sekali tidak mampu melaksanakan fungsi perwakilannya.

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami transformasi kekuasaan seperti sekarang ini. Sejak runtuhnya Orde Baru, gelombang reformasi telah mengubah format terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi.

Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktifitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representatif dan patisipatoris misalnya lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah , karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.

Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, mendaerahkan KKN dan meng KKN kan daerah. Bahkan argumentasi yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa desentarlisasi menyulut disintegrasi bangsa.

 

  1. Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi

• Segi Ekonomi

Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”.

Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.

“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.

• Segi Sosial Budaya

Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.

Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing- masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri.

• Segi Keamanan dan Politik

Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report 18 juli 2003 ”Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan”

”……………..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.

Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya……..”

Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.

Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.

JAKARTA, KOMPAS.com – Sepuluh tahun setelah pelaksanaannya, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) meninjau kembali dampak pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi di Indonesia. Didukung oleh Decentralization Support Facility (DSF), peninjauan kembali ini menekankan pentingnya upaya meningkatkan peran dan fungsi pemerintah provinsi dalam tatanan pelaksanaan desentralisasi yang saat ini dinilai masih belum spesifik dalam mengatur lima dimensi pembangunan daerah.

Kelima bidang yang dinilai masih belum spesifik dalam pembangunan daerah adalah hukum, kebijakan, dan pranata hubungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten; tata kelola pemerintahan provinsi; relasi fiskal pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten-kota; peran provinsi dalam pembangunan dengan perspektif kewilayahan; serta geografi dan relasi ekonomi provinsi dan kabupaten-kota. Pada saat yang sama, kegiatan ini juga meluncurkan laporan terbaru Studi Alternatif Pemekaran Daerah di Indonesia, dan Paparan Kebijaksanaan UNDP yang menyoroti peran pemerintah provinsi.

Desentralisasi sudah menjadi realita di Indonesia, kata Sofian Efendi, Penyelia Senior UNDP untuk bidang Desentralisasi, di Jakarta, Kamis (25/6).

Menurut Sofian, dalam sepuluh tahun terkhir ini, pemerintah Indonesia telah berhasil mengalihkan upaya-upaya penyediaan pelayanan publik ke pemerintah kabupaten/kota, mengalih-tugaskan sekitar 2,5 juta pegawai negeri sipil, serta menempatkan proses pertanggungjawaban kinerja pemerintah daerah langsung kepada para pemberi suara (voter) mereka.

Peningkatan peran pemerintah provinsi sebenarnya telah digariskan dalam UU No. 32/2004, namun masih memerlukan elaborasi lanjut mengenai bagaimana tepatnya peran dan posisi provinsi yang ideal dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, kata Arifin Rudiyanto, Direktur Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.

Tantangan-tantangan seputar kebijaksanaan desentralisasi Indonesia masih bermuara pada ketidakjelasan hukum dan perundangan yang mengatur pelaksanaan kebijakan ini di tingkat provinsi. Karakter pelaksanaannya masih diwarnai oleh kebijakan yang tidak konsisten.

Pengaturan fiskal, misalnya, menyebabkan ketergantungan pemerintah provinsi terhadap transfer dana dari pemerintah pusat. Ketatnya alokasi fiskal ini membatasi inisiasi program-program pembangunan lain pemerintah daerah, di luar sektor kesehatan dan pendidikan yang dinilai telah meningkat dengan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Disamping itu, peran dan fungsi penting pemerintah provinsi tidak begitu jelas dijabarkan dalam undang-undang Pemerintahan Daerah, UU no.32/2004 dan UU no. 33/2004. Hal ini menyebabkan proses perencanaan, penganggaran dan pengawasan belum sepenuhnya terkonsolidasi sehingga berpengaruh langsung terhadap mutu pelaksanaan dan pengadaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Lebih lanjut lagi, walaupun pemerintah provinsi belum memiliki fungsi dan peran yang jelas, namun mereka dibutuhkan untuk mewakili pemerintah pusat dalam mengemban fungsi dan tugas pemerintah pusat. Karena pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang administratif terhadap pemerintah kabupaten/kota, upaya pelaksanaan pengawasan pun menjadi sulit. Hal ini turut menyebabkan lemahnya wewenang keuangan pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saran

 

 

 

 

Daftar Pustaka

salamm, Alfitra. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press

Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.

Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

4http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/

Click to access sp3_2_priyanto.pdf

Undang-Undang No. 22/1999

Undang-Undang No. 32/2004

Undang-Undang No. 33/2004

http://hukum.kompasiana.com/2010/07/26/sejarah-desentralisasi-di-indonesia.html

http://andinurseila.wordpress.com/2013/05/31/dampak-pemerintahan-desentralisasi/

http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/perjalanan-kebijakan-desentralisasi-di-indonesia/